fose

fose
Asep Mahpudin

Selasa, 08 November 2011

ASKEP Steven Johson

ASKEP Steven Johson

A.           Pengertian Penyakit Steven Johnson
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit, kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).

B.            Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab adalah:
1. Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)
a. Penisilline dan semisentetiknya
b. Sthreptomicine
c. Sulfonamida
d. Tetrasiklin
e. Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan paracetamol)
f. Kloepromazin
g. Karbamazepin
h. Kirin Antipirin
i. Tegretol
2. Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)
3. Neoplasma dan faktor endokrin
4. Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)
5. Makanan
C.           Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .
1.        Reaksi Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).
2.           Reaksi Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.


D.       Manifestasi Klinik
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah
 2. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal.Kelainan dimukosas dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan esopfagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
3.  Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtifitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen, perdarahan, ulkus korena, iritis dan iridosiklitis.
Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis.
Komplikasi :
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.

E.            Penatalaksanaan











ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN MENINGITIS

A. Pengkajian
  1. Biodata klien.

  1. Riwayat kesehatan yang lalu
o    Apakah pernah menderita penyait ISPA dan TBC ?
o    Apakah pernah jatuh atau trauma kepala ?
o    Pernahkah operasi daerah kepala ?

  1. Riwayat kesehatan sekarang
a.       Aktivitas
Gejala : Perasaan tidak enak (malaise). Tanda : ataksia, kelumpuhan, gerakan involunter.
b.       Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi : endokarditis dan PJK. Tanda : tekanan darah meningkat, nadi menurun, dan tekanan nadi berat, taikardi, disritmia.
c.        Eliminasi
Tanda : Inkontinensi dan atau retensi.
d.       Makanan/cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan, sulit menelan. Tanda : anoreksia, muntah, turgor kulit jelek dan membran mukosa kering.
e.        Higiene
Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri.
f.        Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, parestesia, terasa kaku pada persarafan yang terkena, kehilangan sensasi, hiperalgesia, kejang, diplopia, fotofobia, ketulian dan halusinasi penciuman. Tanda : letargi sampai kebingungan berat hingga koma, delusi dan halusinasi, kehilangan memori, afasia,anisokor, nistagmus,ptosis, kejang umum/lokal, hemiparese, tanda brudzinki positif dan atau kernig positif, rigiditas nukal, babinski positif,reflek abdominal menurun dan reflek kremastetik hilang pada laki-laki.
g.        Nyeri/keamanan
Gejala : sakit kepala(berdenyut hebat, frontal). Tanda : gelisah, menangis.
h.       Pernafasan
Gejala : riwayat infeksi sinus atau paru. Tanda : peningkatan kerja pernafasan.

B. Diagnosa Keperawatan
  1. Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan diseminata hematogen dari patogen.
  2. Risiko tinggi terhadap perubahan serebral dan perfusi jaringan sehubungan dengan edema serebral, hipovolemia.
  3. Risisko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/fokal, kelemahan umum, vertigo.
  4. Nyeri (akut) sehubungan dengan proses inflamasi, toksin dalam sirkulasi.
  5. Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan neuromuskular, penurunan kekuatan
  6. Anxietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.

C. Intervensi
  1. Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan diseminata hematogen dari patogen.
    Mandiri :
a.         Beri tindakan isolasi sebagai pencegahan
b.        Pertahan kan teknik aseptik dan teknik cuci tangan yang tepat.
c.         Pantau suhu secara teratur
d.        Kaji keluhan nyeri dada, nadi yang tidak teratur demam yang terus menerus
e.         Auskultasi suara nafas ubah posisi pasien secara teratur, dianjurkan nafas dalam
f.         Cacat karakteristik urine (warna, kejernihan dan bau)

Kolaborasi :
    1. Berikan terapi antibiotik iv: penisilin G, ampisilin, klorampenikol, gentamisin.
  1. Resiko tinggi terhadap perubahan cerebral dan perfusi jaringan sehubungan dengan edema serebral, hipovolemia.
    Mandiri :
    1. Tirah baring dengan posisi kepala datar.
    2. Pantau status neurologis.
    3. Kaji regiditas nukal, peka rangsang dan kejang.
    4. Pantau tanda vital dan frekuensi jantung, penafasan, suhu, masukan dan haluaran.
    5. Bantu berkemih, membatasi batuk, muntah mengejan.
Kolaborasi :
    1. Tinggikan kepala tempat tidur 15-45 derajat.
    2. Berikan cairan iv (larutan hipertonik, elektrolit).
    3. Pantau BGA.
    4. erikan obat : steoid, clorpomasin, asetaminofen.
  1. Resiko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/vokal, kelemahan umum vertigo.
    Mandiri :
    1. Pantau adanya kejang
    2. Pertahankan penghalang tempat tidur tetap terpasang dan pasang jalan nafas buatan.
    3. Tirah baring selama fase akut kolaborasi berikan obat : venitoin, diaepam, venobarbital.
  1. Nyeri (akut ) sehubungan dengan proses infeksi, toksin dalam sirkulasi.
    Mandiri :
    1. Letakkan kantung es pada kepala, pakaian dingin di atas mata, berikan posisi yang nyaman kepala agak tinggi sedikit, latihan rentang gerak aktif atau pasif dan masage otot leher.
    2. Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman(kepala agak tingi)
    3. Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif.
    4. Gunakan pelembab hangat pada nyeri leher atau pinggul.

Kolaborasi :
    1. Berikan anal getik, asetaminofen, codein
  1. Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
    1. Kaji derajat imobilisasi pasien.
    2. Bantu latihan rentang gerak.
    3. Berikan perawatan kulit, masase dengan pelembab.
    4. Periksa daerah yang mengalami nyeri tekan, berikan matras udsra atau air perhatikan kesejajaran tubuh secara fumgsional.
    5. Berikan program latihan dan penggunaan alat mobiluisasi.
  1. Perubahan persepsi sensori sehubungan dengan defisit neurologis
    1. Pantau perubahan orientasi, kemamapuan berbicara,alam perasaaan, sensorik dan proses pikir.
    2. Kaji kesadara sensorik : sentuhan, panas, dingin.
    3. Observasi respons perilaku.
    4. Hilangkan suara bising yang berlebihan.
    5. Validasi persepsi pasien dan berikan umpan balik.
    6. Beri kessempatan untuk berkomunikasi dan beraktivitas.
    7. Kolaborasi ahli fisioterapi, terapi okupasi,wicara dan kognitif.
  1. Ansietas sehubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.
    1. Kaji status mental dan tingkat ansietasnya.
    2. Berikan penjelasan tentang penyakitnya dan sebelum tindakan prosedur.
    3. Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan.
    4. Libatkan keluarga/pasien dalam perawatan dan beri dukungan serta petunjuk sumber penyokong.

H. Evaluasi

Hasil yang diharapkan :
  1. Mencapai masa penyembuhan tepat waktu, tanpa bukti penyebaran infeksi endogen atau keterlibatan orang lain.
  2. Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik dan fungsi motorik/sensorik, mendemonstrasikan tanda-tanda vital stabil.
  3. Tidak mengalami kejang/penyerta atau cedera lain.
  4. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol dan menunjukkan postur rileks dan mampu tidur/istirahat dengan tepat.
  5. Mencapai kembali atau mempertahankan posisi fungsional optimal dan kekuatan.
  6. Meningkatkan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi.
  7. Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang dan mengungkapkan keakuratan pengetahuan tentang situasi.

DAFTAR PUSTAKA


Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994.

Long, Barbara C. perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Bandung : yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Staf Pengajar Bagian Patologi Anatomi, FKUI : Kumpulan Kuliah Patologi. Jakarta: P.T Repro Internasional.1990.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar